Sudah sejak lama semua pihak di indonesia sepertinya menyadari kondisi pendidikan yang semakin terpuruk, apakah hal tersebut disengaja atau tidak namun secara kasat mata kondisi pendidikan yang cukup memprihatinkan tersebut senantiasa dijadikan sebagai alat untuk “bahan dagangan” saat kampanye pemilihan pemimpin-pemimpin di negara ini. Carut marut dan keterpurukan dunia pendidikan di Indonesia semangkin terlihat jelas, disaat data yang diperoleh dari hasil pelaksanaan Ujian Kompetensi Guru (UKG). Terlepas dari masih banyaknya kendala dan masalah disaat proses pelaksanan UKG, namun data tersebut secara umum sudah dapat menggambarkan sungguh “menyedihkannya” kondisi pendidikan di Indonesia.
Berdasarkan data hasil sementara UKG 2012. Tercatat, nilai rata-rata sementara UKG hanya 44,55, dengan nilai tertinggi 91,12 dan nilai terendah adalah nol. Nilai rata-rata sementara itu diperoleh berdasarkan pengolahan 243.619 data peserta dari 373.415 guru yang telah selesai mengikuti UKG sampai dengan hari ketiga (1/8/2012).
Dengan hasil UKG tersebut, tidak saja menggambarkan akan kompetensi guru namun sekaligus merupakan bukti bahwa keganjilan di dunia pendidikan di Indonesia adalah bukan sekedar isu semata. Keganjilan tersebut sebenarnya sudah menjadi “rahasia umum”, namun kelihatannya disadari atau tidak hal tersebut sepertinya tidak ada pihak yang benar-benar menganggapnya merupakan hal yang cukup serius, diantaranya adalah:
1. Bila kita kaji hasil UKG tersebut, tidak hanya membuat kita miris namun sekaligus mengherankan. Hal tersebut dikarenakan, bila kita mengacu pada nilai standar kelulusan capaian rata-rata kelulusan di atas 90%, hampir di semua sekolah di Indonesia, sementara gurunya cenderung memperoleh nilai di bawah nilai standar kelulusan. Apakah memang gurunya yang sungguh mahir dalam mengajar hingga anak didiknya mampu melampaui pengetahuan gurunya?. Hal yang lebih mengherankan lagi, bila dibandingkan seorang guru yang hanya di uji untuk mata pelajaran yang di ampunya saat pelaksanaan UKG, dengan seorang siswa yang harus menguasai beberapa mata pelajaran pada saat UAN dan memperoleh nilai lebih baik, bukankah hal tersebut dapat dikatakan “sungguh ajabi”. Secara akal sehat dapat disimpulkan bahwa hasil UKG kontradiksi antara fakta nilai UKG dengan kenyataan bahwa hampir seluruh siswa “lulus UAN”, bila memang nilai UAN benar-benar hasil usaha dan kemampuan para siswa.
2. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mendongkrak wawasan dan kompetensi para guru dengan cara “memaksa guru” untuk kembali belajar dan meningkatkan kualitas pendidikannya, melalui Undang-Undang RI No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab IV pasal 8. Pada undang-undang tersebut, jelas dinyatakan bahwa syarat seorang guru harus memenuhi 5 syarat, antara lain memiliki kualifikasi akademik dan memiliki jenjang sarjana s1 atau Diploma IV. Tentunya secara logika akal sehat, dengan penerapan undang-undang ini akan menciptakan suatu perubahan jenjang pendidikan dan tatanan dari proses pembelajaran yang lebih baik, dikarenakan kwalitas dan kualifikasi yang sudah terukur dari para guru. Namun hingga saat ini, perubahan yang dirasakan terhadap peningkatan kwalitas lulusan dunia pendidikan tidak begitu menggembirakan, bahkan cenderung semakin terpuruk. Kondisi tersebut sepertinya bertolak belakang dengan pernyataan “Tingkat Pendidikan seseorang akan mempengaruhi daya pikir dan kompetensinya”, oleh karena fakta jenjang pendidikan para guru meningkat, namun kenyataanya dengan peningkatan tersebut tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap perkembangan dunia pendidikan.
Bila kita semua mau lebih jujur, saat ini begitu banyak upaya dari sebahagian guru maupun institusi tertentu untuk melaksanakan kegiatan yang kurang tepat dan terpuji, seperti melakukan plagiat, jual beli ijasah, perkuliahan fiktif, dan lain-lain, yang kesemuannya itu berimbas pada keterpurukan mutu pendidikan dan makna pendidikan itu sendiri. Sepertinya di dunia pendidikan sendiri, yang seharusnya merupakan rumah bagi pembentukan karakter dan etika, sudah ikut terpuruk dan kehilangan marwahnya sebagai institusi yang dapat menjadi garda terdepan pendidikan. Padahal pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita…” (Ki Hajar Dewantoro).
3. Saat ini lembaga-lembaga yang bergerak di bidang bimbingan belajar sangat pesat sekali. Hal tersebut berdasarkan wawancara KONTAN dengan beberapa pengelola bisnis bimbel menyatakan bahwa prospek bisnis di dunia pendidikan sepertinya masih cerah. Situasi ini bila dilihat dari sudut pertumbuhan keinginan belajar siswa di Indonesia, tentunya sangat positif dan menggembirakan. Namun seiring dengan pesatnya pertumbuhan bimbingan belajar tersebut sekaligus menimbulkan pertanyaan besar.
Adakah guru tidak mampu menyampaikan atau menguasai mata pelajaran yang diampunya? Apakah waktu disekolah terlalu singkat? Bila jawabannya ya mengapa tidak cukup melakukan diskusi kelompok atau bimbingan tambahan dengan guru saja, bukannya memilih bimbingan di tempat lain. Kondisi secara fakta bahwa jumlah sekolah dan guru senantiasa meningkat, dan diharapkan para siswa mendapatkan pendidikan dan pengajaran di sekolah sebagai tempat pembelajaran utama, namun kenyataanya saat ini banyak orang tua dan siswa bahkan ada sekolah sendiri yang memilih lembaga bimbingan belajar sebagai “tempat pembelajaran utama” bagi siswanya. Sehingga kita layak mempertanyakan apakah guru masih melaksanakan fungsinya sebagai pengajar?
4. Pada APBN 2012 anggaran pendidikan dialokasikan Rp. 286,56 triliun atau sekitar 20,20% dari total APBN Rp 1.418,49 triliun. Secara nominal anggaran ini meningkat dari tahun 2011 yang anggaran pendidikannya mencapai Rp 248,98 triliun atau 20,25 persen dari total APBN Rp. 1.229,56 triliun. Secara angka, anggaran pendidikan dapat dikatakan cukup pantastis, sehingga seharusnya geliat pertumbuhan dan kinerja dunia pendidikan juga turut meningkat pesat. Namun kenyataan yang boleh kita rasakan saat ini, sepertinya perubahan anggaran yang begitu besar sepertinya tidak memberikan dampak apa-apa. Hal tersebut dapat jelas terlihat dari masih rendah sekali kualitas guru, masih banyaknya sekolah yang tidak layak pakai, dan masih banyak lagi persoalan yang terjadi di tubuh dunia pendidikan Indonesia. Apakah hal tersebut tidak menjadi keanehan bagi pemerintah dan seluruh pihak yang terkait dengan pendidikan di Indonesia?
Semua pihak menyadari akan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia baik dari sarana dan prasarana. Melalui berbagai media cetak maupun televisi, dapat secara gamblang kita mengetahui banyaknya sekolah-sekolah khususnya sekolah swasta yang bisa dikatakan sangat tidak layak menyelenggarakan pendidikan. Namun angka berkata lain disaat mayoritas atau dapat dikatakan 90% sekolah di Indonesia rata-rata mencapai kelulusan siswa diatas 90%. Di satu sisi memang cukup menyenangkan, namun tidakkah itu terlalu naïf untuk meyakini hasil tersebut, dimana kondisi fasilitas dan tenaga pengajar jauh dibawah standar minimum, mampu meluluskan siswa >90%?
Kontradiksi antara fakta dan kenyataan yang terjadi saat ini, merupakan gambaran ketidak jujuran, khususnya ditubuh dunia pendidikan Indonesia. Sehingga telah menyeret bangsa ini menjadi bangsa yang cenderung tidak jujur. Padahal dasar nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa bersumber dari nilai-nilai Agama, Pancasila, Budaya dan Tujuan Pendidikan Nasional.
Dari berbagai fenomena dan kondisi pendidikan saat ini, bangsa Indonesia seharusnya segera berbenah dan menyadari bahwa pendidikan Indonesia sudah jauh terpuruk. Sehingga penerapan nilai-nilai karakter bangsa bukan sekedar pelengkap pendidikan yang dipenuhi secara formalistik-administratif belaka. Tetapi nilai-nilai karakter adalah jiwa, ruh, dasar dan tujuan utama pendidikan nasional seperti yang diungkapkan Ki Hadjar Dewantara. Tak sekedar mencapai prestasi akademik (cerdas otak), tetapi memiliki budi pekerti luhur adalah inti utama pendidikan nasional kita.
Mendengar perkataan yang disampaikan oleh budayawan terkenal Mochtar Lubis yang menyatakan “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah hipokritis alias munafik.”, sebenarnya kita harus marah namun hal tersebut betapapun pahitnya harus kita akui, sebagai sebuah kritikan keras untuk bangsa Indonesia ini berbenah diri dan membangun khususnya memperbaiki potret dunia pendidikan yang lebih berbudaya dan jujur. Sikap ketidak jujuran dan mau menerima kenyataan dari kondisi yang ada, akan memberikan dorongan yang positif untuk melakukan hal yang lebih baik. Sikap yang lebih cenderung “proteksi” terhadap kekurangan dan mengesampingkan kejujuran dan etika akademis menciptakan berbagai fenomena yang bahkan orang awam sekalipun dapat memahaminya sebagai “suatu keanehan”.
Mari kita renungkan kembali nasib bangsa dan negara kita yang secara Geografis merupakan salah satu negara dengan wilayah yang luas, namun masih tetap berada di bawah garis kemiskinan dan keterpurukan, tanpa kesadaran dan kerja sama serta cinta akan bangsa dan negara maka keterpurukan bangsa ini akan menjadi warisan bagi anak dan cucu kita mendatang.
Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/09/kontradiksi-antara-fakta-dan-kenyataan-potret-wajah-dunia-pendidikan-indonesia-544536.html
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking